Tibet (otoplasa.com) – Tim The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala-Unpar (WISSEMU) semakin dekat dengan misi untuk mencapai Puncak Gunung Everest. Rabu, 3 Mei 2018, dua orang pendaki dari tim ini kembali berada di Everest Base Camp (EBC) Tibet di ketinggian 5.150 meter di atas permukaan laut (mdpl), Fransiska Dimitri Inkiriwang (Deedee) dan Mathilda Dwi Lestari (Hilda), dua perempuan pendaki dari tim ini, baru saja menyelesaikan rangkaian proses aklimatisasi –adaptasi di ketinggian baru– panjang yang menjadi fokus selama
sebulan lebih mereka di Nepal.
Proses aklimatisasi ini sendiri telah membawa Deedee dan Hilda ke ketinggian di atas 7.000 mdpl di mana kadar oksigen hanya sepertiga dibanding normal.Proses aklimatisasi tahap akhir Tim WISSEMU dimulai dari EBC pada tanggal 26 April 2018. Dari situ rencananya mereka akan pergi hingga ketinggian 7.400 mdpl sebelum kembali lagi ke EBC untuk memaksimalkan proses aklimtisasi ini. Hari pertama tim bergerak menuju Intermediate Camp (IR) di ketinggian 5.800 mdpl, lama perjalanan kurang lebih 7 jam. Setelah sampai di sana tim memutuskan untuk menginap semalam sebelum besok paginya, 27 April 2018, mereka melanjutkan perjalanan menuju Advanced Base Camp (ABC) yang berada pada ketinggian 6.400 mdpl. Untuk mencapai ABC sendiri, perjalanan sepanjang kurang lebih 7 jam perjalanan harus dilalui.
ABC di jalur utara menyajikan rute pendakian paling spektakuler di Himalaya karena melewati Sungai Es Morain dan pe mandangan balok-balok es besar di sisi-sisi jalur pendakian. Langit-langit dikelilingi awan tebal dengan suhu mencapai – 11° Celcius menemani Hilda dan Deedee selama berada di sana. Mereka akan menyesuaikan diri dengan menginap di ketinggian baru ini selama 3 malam sampai tanggal 30 April 2018. Bukan cuman indah, di titik ini juga adasatu hal penting bagi pendakian ini. Malam pertama di ABC adalah kali pertama mereka akan tidur di atas 6.000 mdpl.
Sekadar catatan saja menipisnya kadar oksigen di ketinggian ini memaksa kedua pendaki ini juga harus tidur dengan bantuan tabung oksigen —layaknya seorang yang menyelam ke dalam laut, dengan bukaan 0,5 liter/menit dari tabung. Tiga malam melakukan adaptasi di ABC (6.400 mdpl), 1 Mei 2018 tiba saatnya Hilda dan Deedee berpapasan dengan North Col di ketinggian 7.020 mdpl. Tempat ini juga menjadi spesial, karena merupakan titik ketinggian yang belum pernah dicapai Deedee dan Hilda sebelumnya –titik tertinggi selama ini merupakan Puncak Gunung Aconcagua (6.962 mdpl). North Col merupakan punggungan tebing es sebelum puncak Everest yang dikenal sebagai jalur berbahaya, karena dari sini pendaki harus melewati jurang es dengan tangga dan jalur fix rope di kemiringan 60°. Titik terdekat untuk menginap dari North Col adalah Camp 1. Total mereka berjalan kurang lebih 8 jam untuk tiba di Camp 1 di ketinggian 7.030 mdpl. Suhu di sana mencapai sekitar -19° Celcius dengan angin cukup kencang ditemani hujan salju.
Mereka menginap di Camp 1 selama semalam. Keesokan paginya, proses aklimatisasi ini akan mencapai puncaknya kala mereka berjalan ke daerah di ketinggian 7.400 mdpl, setengah perjalanan menuju Camp 2, sebelum kembali lagi ke EBC untuk memaksimalkan prosesaklimatisasi –kembali ke ketinggian yang lebih rendah setelah mencapai titik tertentu perlu dilakukan agar proses aklimatisasi berjalan dengan maksimal. Selain itu persiapan logistik akhir, pemeriksaan kondisi tubuh untuk summit attempt juga dilakukan di EBC.
“Puji Tuhan, sekarang kita udah sampe di Everest Base Camp udah bisa ngasih kabar kabar lagi. Semua proses aklimatisasinya berjalan lancar. Walau sempet kena cuaca buruk tapi Puji Tuhan semua anggota tim sehat semua. Gak nyangka sekarang sudah pernah sampai ke ketinggian 7000an” tutur Hilda lewat sambungan telepon satelit.
Deedee dan Hilda sebelumnya dilepas dari Bandara Soekarno Hatta pada Kamis, 29 Maret 2018. Dua orang mahasiswi yang masih terdaftar aktif di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung ini sebelumnya telah mengibarkan Bendera Merah Putih di enam puncak gunung tertinggi di enam lempeng benua lain. Mereka mencatatkan diri sebagai tim perempuan Iandonesia pertama yang berhasil mencapai puncak Puncak Gunung Denali (6.190 mdpl), Alaska dan Puncak Gunung Vinson Massif, Antartika (4.190 mdpl). (anto)