Beyond The Auto's Enthusiasm
IndeksContact Us

Inilah 3 Pandangan Hidrologi Dosen ITS Terhadap Banjir

Otoplasa.com – Banjir dahsyat yang kerap terjadi dan senantiasa datang berulang mendapat perhatian serius dari Dr techn Umboro Lasminto, ST, MSc. Ahli Drainase dan Anggota Pusat Penelitian Infrastruktur dan Lingkungan Berkelanjutan-ITS ini memaparkan, bahwa intinya normalisasi dan naturalisasi sungai harus sama-sama dikerjakan.

Dr techn Umboro Lasminto, ST, MSc

Berikut penjelasan Umboro Lasminto dengan gaya bertuturnya.
Berkaitan dengan permasalahan banjir yang menjadi topik hangat di berbagai media, ada hal yang selalu menjadi pertanyaan, mana konsep yang benar antara Naturalisasi vs Normalisasi? Tanpa perlu mencari konsep mana yang paling benar, kami meninjau dari aspek hidrologi dalam ilmu keteknikan untuk mengatasi banjir.

Dari pandangan hidrologi ada tiga air yang berperan dalam banjir pada kota-kota yang berada di tepi laut.

Pertama
Air sungai yang berasal dari hujan yang turun di dearah aliran sungai (DAS) yang mengalir melewati kota. Air ini volumenya sangat besar (debitnya dapat mencapai ratusan bahkan ribuan m3/dt tergantung luas DAS dan curah hujan) dan mengalir dengan kecepatan cukup tinggi, sehingga bila kapasitas alir sungai tidak mencukupi akan terjadi luapan dan terjadi banjir.

Lebar sungai dari hulu sampai ke hilir bervariasi, sehingga kapasitas sungai juga bervariasi ada yang kecil dan besar. Bagi kawasan yang berada di hilir, debit banjir ini biasanya disebut banjir kiriman. Namun sebenarnya itu adalah debit banjir sungai yang memang harus mengalir ke hilir (secara alami air sungai mengalir dari hulu ke hilir).

Prinsip untuk mengatasi banjir sungai ini adalah di bagian hulu menahan sebanyak-banyaknya air untuk mengurangi air yang mengalir ke hilir agar sungai masih mampu untuk mengalirkannya, dan di bagian hilir memperlancar aliran air agar banjir segera mengalir ke laut untuk menghindari terjadinya luapan air di sungai. Ada beberapa cara untuk menahan air di bagian hulu DAS (dalam upaya mengurangi air yang mengalir ke hilir), yaitu membuat tampungan air dalam bentuk bendungan, waduk, situ, embung-embung atau bentuk tampungan air lain.

Di samping menampung, perlu juga meningkatkan resapan air ke dalam tanah yang dapat dilakukan dengan memperluas kawasan hutan atau tanaman tahunan, membuat sumur resapan, kolam resapan, biopori dan lain-lain. Meresapkan air ke dalam tanah dapat dilakukan di daerah hulu, di mana masih banyak lahan terbuka (tidak tertutup bangunan) atau perkerasan, lahan dengan muka air tanah rendah dan kondisi tanah tidak jenuh air.

Debit banjir yang telah dikurangi atau dikendalikan di hulu masih cukup besar sehingga perlu untuk meningkatkan kapasitas alir sungai dan memperpanjang waktu debit sampai pada ke hilir, karena umumnya hilir adalah daerah padat permukiman. Di sinilah naturalisasi dan normalisasi dapat dikerjakan secara bersama-sama. Naturalisasi dalam ilmu teknik sungai dikenal dengan restorasi, yaitu upaya mengembalikan sungai pada kondisi alami di mana sungai terdiri dari penampang sungai utama dan bantaran sungai di kanan dan kirinya serta dataran banjir (flood plain). Pada saat aliran normal, air akan mengalir hanya di penampang sungai utama. Sedangkan pada saat banjir, air akan mengalir di sungai utama dan bantaran sungai serta di dataran banjir.

Bantaran sungai yang cukup lebar diperlukan untuk meningkatkan kapasitas alir sungai. Bantaran sungai tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia selama musim hujan karena sewaktu-waktu dapat dialiri banjir. Penggunaan lahan dataran banjir harus beradaptasi bahwa pada lahan tersebut suatu saat akan terjadi banjir atau genangan.

Orang tua dulu membuat rumah panggung pada daerah dataran banjir. Naturalisasi dapat dilakukan pada penampang sungai bagian tengah, di mana secara alami aliran sungai berkelok-kelok (meander). Aliran sungai berkelok dan adanya bantaran sungai akan menghambat kecepatan aliran, dengan demikian tersedia waktu yang cukup lama banjir untuk mencapai ke hilir. Waktu ini berguna untuk memberi peringatan dini dan mengambil tindakan sebagai upaya mitigasi bencana banjir.

Naturalisasi bisa dilakukan di daerah yang memungkinkan untuk pembebasan lahan yang cukup lebar karena dibutuhkan penampang utama dan bantaran sungai dalam bentuk alami. Jadi untuk daerah yang memungkinkan tersedia lahan yang lebar di tepi sungai dapat dilakukan naturalisasi sungai.

Di bagian hilir sungai, debit banjir harus segera dialirkan ke laut, namun daerah ini biasanya padat pemukiman, sehingga ketersediaan lahan sangat terbatas dan pembebasan lahan juga sangat sulit dilakukan. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas sungai dapat dilakukan dengan pelebaran sungai yang terbatas.

Normalisasi dapat memperlebar, meningkatkan kedalaman aliran atau memperhalus permukaan sungai agar kecepatan dan kapasitas debit meningkat. Dikarenakan ketersediaan lahan terbatas maka normalisasi dilakukan dengan membuat tebing sungai tegak atau hampir tegak, sehingga perlu bangunan perkuatan agar tidak longsor. Perkuatannya dapat menggunakan sheet pile, dinding beton atau batu kali. Jadi kalau ketersediaan lahan terbatas, peningkatan kapasitas alir sungai dapat dilakukan dengan cara normalisasi sungai.

Kedua
Air yang berasal dari hujan lokal yang turun di atas kota itu sendiri. Hujan lokal ini mengalir ke saluran drainase kota. Bila saluran drainase kota tidak mampu mengalirkan air hujan, maka akan terjadi genangan. Untuk daerah yang topografinya rendah atau berupa cekungan, maka diperlukan bantuan pompa untuk mengalirkan air. Bila hujan lokal terjadi bersamaan dengan terjadinya banjir di sungai sehingga muka air sungai lebih tinggi dari muka air di saluran drainase, maka air dalam saluran drainase tidak dapat mengalir secara gravitasi dan menunggu sampai muka air sungai turun kalau tidak tersedia pompa banjir.

Kondisi ini yang biasanya dikatakan air dalam saluran antre mengalir ke sungai atau kanal. Bila muka air sungai tinggi berlangsung dalam waktu lama, maka air dalam saluran drainase akan meluap dan menggenang sehingga perlu dialirkan dengan bantuan pompa. Adanya kolam atau waduk/boesem untuk menampung air sebelum dipompa dapat membantu pompa untuk mencegah terjadinya genangan.

Untuk mengurangi beban saluran drainase kota dapat dilakukan pemanenan air hujan. Air hujan sebagian dapat ditampung baik dalam tampungan individu di dalam persil seperti tandon, kolam tampung maupun tampungan komunal berupa situ, waduk, boesem atau kolam. Pada daerah hilir, umumnya muka air tanah tinggi dan kondisi tanah jenuh air selama musim hujan, sehingga sangat sulit untuk meresapkan air ke dalam tanah dalam rangka pemanenan air hujan.

Ketiga
Air laut. Pada kota yang berada di tepi laut, sungai-sungai dan saluran drainase kota akan bermuara ke laut. Air laut dalam kondisi pasang dapat menghambat aliran air di sungai dan saluran drainase yang akan mengalir ke laut. Bahkan bila terjadi pasang tinggi akan terjadi aliran balik di mana air laut mengalir ke sungai. Untuk mencegah air laut masuk ke sungai dibuatlah pintu air. Namun dengan adanya pintu air, air hujan tidak dapat mengalir secara gravitasi sehingga perlu dipompa. Pada kondisi kapasitas pompa banjir terbatas untuk menghindari genangan perlu ada kolam penampungan atau yang dikenal dengan waduk/Boesem untuk menampung sementara air hujan sebelum dialirkan ke laut.

Bencana banjir tidak dapat ditanggulangi hanya dengan satu cara, melainkan banyak cara yang harus dilakukan bersama-sama dan terintegrasi. Di antaranya adalah bendungan/tampungan hulu segera dibangun atau diselesaikan, perbanyak resapan air di hulu, normalisasi dan naturalisasi dilakukan di lokasi yang tepat, mengeruk waduk/boesem di hilir, membuat tampungan hilir, membangun pompa dan pintu air, memperbaiki saluran drainase, serta mengeruk sedimen dan sampah di dalam sungai dan saluran. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk tidak membuang sampah ke sungai dan saluran drainase serta tidak menempati lahan yang merupakan tempat aliran air. (*/anto/06-01-2020)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *