Otoplasa.co – Tak dipungkiri harga mobil listrik melambung tinggi gara-gara penggunaan baterai lithium-ion. Inilah bahan utama baterai mobil listrik yang membikin harga kendaraan listrik kalah bersaing dengan mobil-mobil konvensional. Menyiasati hal ini, Universitas Pertamina coba mengembangkan bahan baterai alternatif non lithium yang diyakini harganya bisa lebih ekonomis.
Hal ini dapat dimaklumi karena baterai lithium-ion memiliki banyak kelebihan. Mulai dari usia pakai dan proses pengisian daya yang cepat, menjadikannya sebagai baterai favorit saat ini meski mahal harganya.
Atas dasar itulah Universitas Pertamina melakukan pengembangan jenis baterai baru untuk mobil listrik yang menggunaan pemanfaatan sodium dan aluminium sebagai baku utama menggantikan lithium. “Selama satu tahun terakhir, tim melakukan pengembangan baterai dengan cara menggantikan elektrolit cair menjadi polimer elektrolit berbahan baku sodium dan aluminium,” kata Sylvia Ayu Pradanawati, Ph.D, tim peneliti Program Studi Teknik Mesin Universitas Pertamina, dalam keterangan resminya, Sabtu (05/03).
“Tak hanya untuk mendapatkan alternatif bahan baku baterai, elektrolit yang dibuat oleh tim juga terbukti lebih tahan pada suhu tinggi, dibandingkan dengan lithium. Harganya juga lebih ekonomis,” imbuhnya.
Sylvia mengatakan, berdasarkan Benchmark Mineral Intelligence pada Mei hingga November 2021, harga baterai lithium-ion naik hingga dua kali lipat. pada awal 2022 kenaikannya menyentuh angka 240 persen, yang merupakan level tertinggi selama lima tahun terakhir.
Untuk mobil listrik, sekitar 40 persen hingga 50 persen biayanya dihabiskan untuk baterai lithium-ion. Hal tersebut karena baterainya membutuhkan bahan baku kobalt yang sulit didapat dan harganya mahal. Menurut Sylvia, jumlah sodium dan aluminium di alam jauh lebih banyak dibanding nikel yang merupakan bahan baku lithium. Sehingga, ketersediaannya akan lebih berkelanjutan.
Kondisi tersebut menjadikan inovasi yang digagas tim Universitas Pertamina ideal untuk tujuan jangka panjang. Bahkan secara harga juga lebih terjangkau dan ekonomis. Bala Pachayappa, CEO Sodion Energy, menyebutkan baterai sodium-ion lebih murah 30 hingga 40 persen dibanding baterai lithium-ion.
Secara proses, Syliva mengatakan pembuatan elektrolit baterai cukup sederhana. Garam sodium dan aluminium dilarutkan dengan zat pelarut (solvent) guna kemudian dicampurkan dengan polimer. “Polimer yang digunakan oleh tim merupakan polimer alami dari alam. Sifatnya tidak beracun dan memiliki gugus pasangan elektron bebas yang dapat dijadikan elektrolit polimer dengan nilai konduktivitas ion yang cukup baik. Polimer ini juga merupakan salah satu bahan alam yang kurang optimal dimanfaatkan,” terangnya.
Melengkapi polimer, tim peneliti Universitas Pertamina menambahkan fly ash atau abu terbang yang berasal dari pembakaran limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kegunaannya sebagai filter yang dapat meningkatkan konduktivitas polimer. “Pemanfaatan limbah dan garam yang murah ini, diharapkan dapat mengurangi biaya pembuatan baterai serta memperluas aplikasi baterai,” urai Sylia.
Dalam aplikasinya, selain berpotensi digunakan pada kendaraan listrik, baterai ion sodium dan aluminium juga dapat dipakai untuk perangkat elektronik portabel. Dalam prosesnya, Universitas Pertamina menggandeng Universiti Teknologi Petronas (UTP) milik perusahaan minyak dan gas bumi Malaysia, yakni Petronas. (*/anto)